Kamis, 29 November 2018

Demokrasi Sebagai Pandangan Hidup

Menurut Nurcholis Madjid, demokrasi bukanlah kata benda, tetapi lebih merupakan kata kerja yang mengandung makna sebagai proses dinamis. Demokasi adalah proses menuju dan menjaga civil society yang menghormati dan berupaya merealisasikan nilai- nilai demokrasi  (Sukron Kamil, 2002).

Tujuh norma-norma dan pandangan hidup demokratis yang dikemukakan oleh Nurcholis Madjid (Cak Nur), sebagai berikut:

a. Pentingnya kesadaran akan pluralisme.

Hal ini tidak sekedar pengakuan (pasif) akan kenyataan masyarakat yang majemuk. Lebih dari itu, kesadaran akan kemajemukan menghendaki tanggapan yang positif terhadap kemajemukan itu sendiri secara aktif. Kesadaran akan pluralitas sangat penting dimiliki bagi rakyat Indonesia sebagai bangsa yang sangat beragam dari sisi etnis, bahasa, budaya, agama dan potensi alamnya.

b. Musyawarah
Internaliasasi makna dan semangat musyawarah mengehendaki atau meharuskan keinsyafan dan kedewasaan untuk dengan tulus menerima kemungkinan terjadinya “partial finctioning of ideals”, yaitu pandangan dasar belum tentu, dan tidak harus, seluruh keinginan sepenuhnya.

c. Pertimbangan moral
Pandangan hidup demokratis mewajibkan adanya keyakinan bahwa cara haruslah sejalan dengan tujuan. Bahkan sesungguhnya klaim atas suatu tujuan yang baik harus diabsahkan oleh kebaikan cara yang ditempuh untuk meraihnya. Demokrasi tidak terbayang terwujud tanpa ahklak yang tinggi.
Dengan demikian pertimbangan moral (keseluruhan akhlak) menjadi acuan dalam berbuta dan mencapai tujuan.

d. Permufakatan yang jujur dan sehat

Suasana masyarakat demokratis dituntut untuk menguasai dan menjalankan seni permusyawaratan yang jujur dan sehat itu guna mencapai permufaakatan yang juga jujur dan sehat. Permufakatan yang dicapi melalui ”engineering”, manipulasi atau merupakan permufakatan yang curang, cacat atau sakit, malah dapat disebut sebagai penghianatan pada nilai dan semangat musyawarah. Musyawarah yang benar dan baik hanya akan berlangsung jika masing- masing pribadi atau kelompok yang bersangkutan memiliki kesediaan psikologis untuk melihat kemungkinan orang lain benar dan diri sendiri salah, dan bahwa setiap orang pada dasarnya baik, berkecenderungan baik, dan beriktikad baik.

e. Pemenuhan segi- segi ekonomi

Masalah pemenuhan segi-segi ekonomi yang dalam pemenuhannya tidak lepas dari perencanaan sosial-budaya. Warga dengan pemenuhan kebutuhan secara berencana, dan harus memiliki kepastian bahwa rencana-rencana itu benar- benar sejalan dengan tujuan dan praktik demokrasi. Dengan demikian rencana pemenuhan kebutuhan ekonomi harus mempertimbangkan aspek keharmosian dan keteraturan sosial.

f. Kerjasama antar warga untuk mempercayai iktikad baik masing- masing.

Kerjasama antar warga untuk mempercayai iktikad baik masing- masing, kemudian jalinan dukung- mendukung secara fungsional antara berbagai unsur kelembagaan kemasyarakatan yang ada, merupakan segi penunjang efisiensi untuk demokrasi. Pengakuan akan kebebasan nurani (freedom of conscience), persamaan percaya pada iktikad baik orang dan kelompok lain (trust attitude) mengharuskan adanya landasan pandangan kemanusiaan yang positif dan optimis.

g. Pandangan hidup demokratis harus dijadikan unsur yang menyatu dengan pendidikan demokrasi.
Pandangan hidup demokrasi terlaksana dalam abad kesadaran universal sekarang ini, maka nilai- nilai dan pengertian – pengertiannya harus dijadikan unsur yang menyatu dengan sistem pendidikan kita. Perlu dipikirkan dengan sungguh-sungguh memikirkan untuk membiasakan anak didik dan masyarakat umumnya siap menghadapi perbedaan dan  pendapat dan tradisi  pemilihan terbuka untuk mentukan pemimpin atau kebijakan. Jadi pendidikan demokrasi tidak saja dalam kajian konsep verbalistik , melainkan telah membumi dalam interaksi dan pergaulan sosial baik dikelas maupun diluar kelas.

Tumbuh dan berkembangnya demokrasi dalam suatu Negara memerlukan ideologi yang terbuka, yaitu ideologi yang tidak dirumuskan “sekali dan untuk selamanya” (once and for all), tidak dengan ideology tertutup yaitu ideology yang konsepnya (presept) dirumuskan “ sekali dan untuk selamanya” sehingga cenderung ketinggalan zaman (obsolete, seperti terbukti dengan ideologi komunisme).

Dalam konteks ini Pancasila-sebagai ideologi Negara harus ditatap dan ditangkap sebagai ideology terbuka, yaitu lepas dari kata literalnya dalam pembukaan UUD 1945. Penjabaran dan perumusan presept-nya harus dibiarkan terus berkembang seiring dengan dinamika  masyarakat dan pertumbuhan kualitatifnya, tanpa membatasi kewenangan penafsiran hanya pada suatu lembaga “resmi “ seperti di negeri- negeri komunis. 

Karena itu, ideology Negara-Pancasila-Indonesia dalam perjumpaannya dengan konsep dan sistem demokrasi terbuka terhadap kemungkinan proses –proses ‘coba dan salah’ (trial and error), dengan kemungkinan secara terbuka pula untuk terus menerus melakukan koreksi dan perbaikan, justru titik kuat suatu ideologi yang ada pada suatu Negara ketika berhadapan dengan demokrasi adalah ruang keterbukaan. Karena demokrasi dengan segala kekurangannya, ialah kemampuannya untuk mengoreksi dirinya sendiri melalui keterbukaannya itu. Jadi bila demokrasi ingin tumbuh dan berkembang dalam Negara Indonesia yang mempunyai ideology Pancasila mensyaratkan ideologi tersebut sebagai ideologi terbuka.